Jumat, 18 Oktober 2013

Wawancara dengan Simon Mignolet

Sedikit wawancara harian BOLA dengan kiper utama Liverpool, Simon Mignolet.

Selamat buat timnas Belgia yang lolos ke PD Brasil 2014. Bagaimana rasanya menjadi pemain Belgia pertama di Liverpool?

Terima kasih. Sangat kaget waktu pertama kali mendengarnya. Bisa bergabung bersama klub besar dengan sejarah panjang seperti Liverpool saja sudah luar biasa. Kini saya juga punya kesempatan menjadi bagian dari sejarah itu sendiri.

Anda bersaing ketat dengan Thibaut Courtois (Atletico Madrid) di timnas Belgia.

Hanya dengan bermain baik bersama Liverpool saya bisa kembali memaksakan kesempatan buat terpilih lagi sebagai kiper utama Belgia.

Semuanya saling terkait. Jika saya tampil baik dan Liverpool berprestasi, kans saya di Belgia semakin besar. Piala Dunia sudah semakin dekat dan saya harus bisa melakukan itu.

Apakah Anda punya target pribadi di Liverpool?

Tentu saja. Seperti pemain lain, saya memiliki target personal yang ingin diraih. Akan tetapi, kepentingan klub selalu di atas segalanya dan saya harus menjadi bagian dari kesuksesan tim ini.

Saat ini siapa rekan yang paling dekat dengan Anda?

Sebagai seorang kiper, otomatis saya lebih sering menghabiskan waktu saat latihan dengan kiper lain (Brad Jones dan Danny Ward). Kami punya grup pemain yang besar dan saya berusaha mengenal baik semuanya.

Anda pernah mencetak gol penalti di awal karier. Pernah terpikir ingin mengulanginya?

Melihat fakta Liverpool memiliki salah satu pemain terbaik dunia untuk urusan mengambil penalti, Steven Gerrard, rasanya tidak. Biarkan sang ahlinya mengambil peranan itu.

Apa benar Anda fasih berbicara lima bahasa?

Ya, saya bisa berbicara lancar dengan bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Belanda dan Flemish (Belgia). Saya mempelajarinya ketika masih kuliah di jurusan politik universitas di Belgia.

Saya merasa perlu untuk mencari atau mempersiapkan rencana cadangan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam karier, seperti cidera parah atau apa pun. Melanjutkan pendidikan adalah salah satu solusi yang saya pilih.

(source: indonesia.liverpoolfc.com)

Rabu, 16 Oktober 2013

Mengenal Pemain Akademi, Harry Wilson si Debutan Wales

Harry Wilson baru saja menjadi pusat perhatian, setelah pemain akademi Liverpool ini menjalani debut di timnas senior Wales.



Pada tahun 2005 Harry Wilson bergabung dengan Liverpool FC dari kampung halamannya, Wrexham saat masih berumur 8 tahun. Ia melakukan debut untuk Liverpool U18 saat menggantikan Kristoffer Peterson masih berumur 15 tahun pada bulan Februari, ketika Liverpool U18 menggulung Sunderland U18 4-1.
Selanjutnya ia membuat 6 penampilan dan berhasil membuat 2 gol.

Wilson menjadi pusat perhatian ketika ia membantu Liverpool U15 di ajang Milk Cup 2012. Para pengamat mengatakan ia lebih berbakat dari Seyi Ojo yang di datangkan dari MK Dons dengan mahar £1m.




Harry Wilson bahkan sempat bermain untuk Liverpool U21, ketika itu Liverpool dikalahkan 4-3 di pertandingan, pertama liga U21.

Harry Wilson sering kali dimainkan sebagai sayap kanan, meski ia juga mahir bermain sebagai sayap kiri. Ia memiliki hubungan yang sangat baik dengan pemain sayap berbakat lainnya, Ryan Kent. Wilson sangatlah cepat, memiliki skill yang fantastis dan juga insting mencetak gol.

Fans Liverpool di Inggris memanggilnya "King of Academy", karena ia pernah mengalahkan pemain sayap lain, Seyi Ojo dan Ryan Kent saat latihan yang di filmkan untuk Soccer AM di bulan Agustus.

Untuk pengamat pemain akademi di Inggris, Harry Wilson dianggap sebagai prospek masa depan yang memukau karena penampilan impresif nya bersama skuad U16 musim lalu. Ia terkenal sebagai pencetak gol jarak jauh yang ulung, termasuk golnya ke gawang Stoke City bersama Liverpool U18, meski ia memiliki tubuh yang relatif kecil tetapi, ia terbiasa beradu fisik dan juga sangat mahir menggunakan tubuhnya untuk 
melewati lawan.



Harry Wilson akhirnya debut untuk Wales saat bermain imbang 1-1 melawan Belgia. Meski, dia hanya tampil tiga menit pada laga tersebut. Mantan pemain Liverpool, Craig Bellamy juga kebetulan pensiun dari timnas Wales di match tersebut.




Wilson memecahkan rekor sebelumnya milik Gareth Bale. Saat pertama kali membela Wales, usia Harry Wilson adalah 16 tahun 208 hari, sedangkan usia Bale saat debut di timnas senior adalah 16 tahun 315 hari. 

Wilson juga memecahkan pemain termuda Liverpool yang pernah membela timnas. Saat dipanggil timnas Inggris November lalu, usia Sterling adalah 17 tahun 342 hari. 




Meski Harry Wilson sekarang sudah debut di timnas senior Wales, ia tetap saja hanya pemain berprospek yang baru berumur 16 tahun, jalan panjang masih jauh di depan. Saat ini pun ia hanya lebih sering bermain di U18 dibandingkan U21.




(source: thisisanfield.com & liverpoolfc.com)

Selasa, 15 Oktober 2013

Mengenal Pelatih Liverpool U21, Alex Inglethorpe.

Tidak semua fans Liverpool mengetahui bahwa Liverpool memiliki tim U-21, yang tepat berada dibawah tim senior jika di susun seperti silsilah. Bahkan sebagian orang masih menganggap Liverpool U-21 adalah tim Reserve, meski bisa dibilang begitu, pasalnya FA memperbolehkan ada 3 pemain yang berusia di atas 21 tahun untuk masuk skuad U-21.

Beberapa pemain tim senior Liverpool, pernah merasakan masuk tim U-21, sebut saja Aly Cissokho yang baru-baru ini membantu Liverpool U-21 menggilas Spurs U-21 5-0! Bahkan Cissokho menyumbangkan 1 assist di match ini. Ya, Cissokho dimainkan di Liverpool U-21 karena ia baru saja sembuh cidera dan untuk mengembalikan kebugarannya.



Tidak semua fans Liverpool tertarik dengan tim bayangan ini, mengetahui nama pemain Liverpool U-21 belum tentu tahu, paling Raheem Sterling (udah promosi ke tim senior), Suso atau Jordon Ibe. Padahal, ada banyak pemain muda berpotensial, sebut saja Adam Morgan, Llyod Jones, Ryan McLaughlin, Joao Carlos Teixeira dll. (tambahin Kelly, Wisdom, Robinson, Flanagan kalau anda maksa tahu)




Tapi yang mau saya bahas itu pelatihnya, Alex Inglethorpe. Sebagian mungkin merasa asing, masih lebih familiar nama Rodolfo Borrell, pelatih U-21 sebelumnya yang dibawa Rafa Benitez ke Akademi Kirkby beberapa tahun lalu.

Inglethorpe adalah pelatih asal Inggris yang masih muda, sederet pemain berprestasi asal akademi Spurs adalah hasil sentuhannya, sebut saja Gareth Bale, Kyle Walker, Andros Townsend dan lain-lain yang kurang penting.

Inglethorpe memulai karier sebagai pemain dan kurang cemerlang, prestasi tertingginya sebagai pemain hanya di Leyton Orient. Sedangkan, karier kepelatihannya dimulai tahun 2001, di Leatherhead dalam peran pemain-manajer. Sementara di Leatherhead ia harus mengelola tim dengan anggaran hanya £500/minggu.




"Saya bekerja di sebuah gudang dan saya melatih U-18 tahun di Lewisham College (Leatherhead). Aku punya 70 sampai 80 anak-anak dan sebuah tas besar berisi bola dan saya harus membuat perubahan dari itu. Itu adalah hal sulit tapi mereka baik sekali." kenang Inglethorpe ke jurnalis Liverpool Echo.

Inglethorpe kembali ke Leyton Orient sebagai pelatih U-19 pada Januari 2004. Dia ditunjuk sebagai manajer dari Exeter pada Oktober 2004. Selama masa jabatannya di Exeter, klubnya pernah bermain imbang 0-0 dengan Manchester United di FA Cup.

Sementara melatih non-liga, ia juga sempat menjabat sebagai Asisten Manajer England National Game XI, tetapi ia mengundurkan diri pada bulan Oktober 2005, karena ia tidak senang dengan klaim yang mengatakan dia menggunakan posisi (sbg Asisten Manajer England National Game XI) tersebut untuk menekan pemain-pemain klub lain.
*FYI, England National Game XI adalah timnas Inggris yang berisi pemain-pemain semi-pro alias pemain dari klub non-liga.




Pada Juni 2006 ia meninggalkan Exeter untuk bergabung dengan staf kepelatihan di Tottenham, setelah pemecatan Martin Jol, ia menjabat sebagai asisten manajer caretaker Clive Allen sampai Spurs memperkejakan Juande Ramos. Setelah Ramos dipecat, Inglethorpe dijadwalkan untuk mengambil alih tim senior (caretaker) Tottenham untuk pertandingan liga melawan Bolton, meskipun akhirnya Spurs menunjuk Harry Redknapp sebelum match tersebut. 

Spurs U-18 dibawa oleh Inglethorpe menjadi tim yang menakutkan di EPL U-18, para pemain muda Spurs adalah hasil didikan dari Inglethorpe, ia menempah para pemain muda menjadi lebih kuat dalam edukasi strategi, mental dan kekompakan tim. Spurs U-18 bahkan sempat masuk NextGen Series (Liga Champion untuk U-19).

Pada tahun 2006, Spurs hanyalah tim papan tengah. Tapi sekarang? Spurs tidak hanya kuat di tim senior, tetapi juga akademinya. Pemain muda mereka siap saing dan bahkan beberapa hasil akademi nya (yang dijual atau di pinjamkan) berhasil menembus starting klub-klub EPL sekarang ini.

Ini adalah hasil kerja Inglethorpe di akademi Spurs dari 2006-2012. Yah, sepertinya cukup untuk mengetahui prestasinya dengan Spurs dahulu.
(tidak baik ngomongin klub lain banyak-banyak)



Pada tanggal 27 November 2012, Liverpool menaikkan jabatan Rodolfo Borrell dari yang sebelumnya pelatih U-21 menjadi Kepala Akademi Liverpool, dan otomatis Liverpool mencari pelatih baru untuk Liverpool U-21, dan direkrutlah Alex Inglethorpe dari Tottenham U-18.






"Saya senang karena Alex telah memutuskan untuk bergabung dengan kami dan terlibat dalam perjalanan panjang kami ini untuk menciptakan sebuah filosofi yang langsung diterapkan lewat klub ini. Komitmen serta keyakinannya terhadap segala sesuatu yang sedang kami kerjakan sekarang ini akan membawa sukses pada posisinya." komentar Rodgers tentang penunjukan Alex Inglethorpe.

Rodolfo Borrell (Kepala Akademi), Frank McParland (Direktur Akademi), Alex Inglethorpe (Pelatih LFC U18)


"Alex juga memiliki banyak pengalaman saat bekerja dengan Spurs U-18 selama bertahun-tahun, di mana ia telah membantu untuk menghasilkan beberapa pemain fantastis disana." sambung Rodgers.

"Aku yakin dia akan membantu kami meningkatkan level akademi. Ini adalah perekrutan yang fantastis dan saya tak sabar untuk bekerja dengan dia untuk tahun-tahun yang akan datang." tutup Rodgers.


Bahkan di musim 2012-2013, Liverpool U21 berhasil menembus Final Stage EPL U21, tapi berhenti di semi-final karena kalah dari Manchester United.

Ya, doakan saja Inglethorpe berhasil menelurkan pemain Liverpool U-21 menjadi pemain yang siap bersaing di tim senior. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan seputar Liverpool. Wassalam.



*tulisan ini ditulis dan dimiliki oleh @theredsfans, yang dikutip dari berbagai sumber.

Senin, 14 Oktober 2013

Bill Shankly: Diasingkan, Mati, dan Bangkit Kembali

Setan itu terletak pada detail. Detail adalah kunci memenangi pertandingan. Strategi besar bisa saja rontok oleh kebetulan kecil atau kebodohan sepele. Orang yang bertarung dalam hal-hal konkret, memang tak bisa mengandalkan kutipan atau konsep-konsep agung.

Begitu juga Shankly. Meski akrab dengan kata-kata dan kalimat "besar", kesuksesan yang dibawanya ke Liverpool datang dari repetisi hal-hal kecil. Karena, mengutip Jonathan Wilson, sepakbola memang masalah pengulangan. Satu sesi latihan lagi. Satu perdebatan lagi. Satu sesi wawancara lagi. Satu gol lagi. Satu pertandingan lagi. Satu musim lagi.

Dan ketahanan terhadap repetisi ini, untuk tidak jadi lalai dan menurunkan standar kedetailannya, dari musim ke musim selama 15 tahun, itulah yang jadi keunggulan Shankly. Di bawah Shankly, Liverpool juga mulai mengubah permainannya, dari semula bergaya Inggris menjadi khas Eropa daratan. "Pass and move", gaya yang kemudian jadi dasar permainan Liverpool di masa kejayaannya, juga mulai dikenalkan oleh Shankly.

Tapi bukan berarti Liverpool bermain dengan cara yang cantik. Perulangan yang dibuat Shankly di latihan berarti tim yang bermain dengan cara metodikal. Semuanya terencana. Tim cadangan akan bermain dengan gaya yang sama dengan tim utama. Pertandingan pun dimenangi dengan skor tipis, dan kadang membosankan. Maka banyak yang mengatakan jika Liverpool di bawah Shankly terlalu mekanikal dan tertebak cara bermainnya.

Hal ini diamini oleh Shankly sendiri. "Orang bilang kami tertebak. Well, saya pikir orang yang tidak tertebak hanya buang-buang waktu saja. Joe Louis (seorang petinju) juga gampang ditebak. Ia akan membuat KO lawannya. Kami (Liverpool) juga tertebak. Tapi lawan tidak dapat menghentikan kami," ujarnya.

Satu hal yang mendorong Shankly untuk bisa bertahan dari tekanan atas repetisi ini adalah obsesinya akan sepakbola.

"Keseharian Shankly dipenuhi oleh sepakbola. Jika tidak sedang menonton sepakbola, maka ia akan membicarakannya. Bahkan, saat makan siang pun, meja dan benda-benda di atasnya akan jadi lapangan bola, dan dia akan mulai memindahkan benda-benda. Shankly tak mungkin mengeluarkan sepakbola dari pikirannya," ujar Karen Gill, cucunya.

Setiap libur musim datang, saat tidak ada pertandingan sepakbola, Shankly akan merasa depresi. Di masa-masa inilah acap kali ia mendatangi kantor direksi, dan mengancam akan mundur. Tapi saat para pemain sudah kembali untuk latihan pramusim, keresahannya menguap begitu saja, dan ia kembali dipenuhi energi.

Namun di musim panas 1974, setelah ia memberikan gelar piala FA, 15 tahun dari pertama kali ia jadi pelatih Liverpool, Shankly kembali mengundurkan diri. Ada yang mengatakan ia ingin berhenti karena kesehatan istrinya yang terganggu. Ada yang bilang bahwa tekanan untuk selalu tampil di publik, dan mengeluarkan kata-kata indah untuk dikonsumsi media, sudah terlampau besar untuk ditanggungnya.

Namun, tak ada yang pernah tahu alasannya. Di buku biografi yang ditulisnya setahun setelah mengundurkan diri pun, Shankly tak menjelaskan detail alasannya. Ia hanya berkata, "Saat saya mengangkat piala FA itu saya berpikir, mungkin ini semua sudah cukup." Yang pasti, berbeda dengan musim-musim sebelumnya, para direksi kali ini menerima pengunduran diri Shankly. Ia dilepas, dan digantikan oleh salah satu staf-nya, Bob Paisley.

 Namun, sepakbola kadung sudah mengalir dalam darah Shankly. Saat para pemain Liverpool kembali dari Melwood (tempat latihan Liverpool) untuk pramusim, Shankly ada di sana untuk menyambut mereka. Lengkap dengan memakai pakaian seorang pelatih. Semula ia hanya datang untuk berbicara dengan Paisley. Tapi lama-kelamaan Shankly malah memimpin latihan tim utama.

Kehadiran serta otoritas Shankly tentu menyulitkan Paisley. Sementara para pemain memanggil Paisley dengan "Bob", Shankly tetap dipanggil dengan sebutan "boss". Saking terganggunya, Paisley bahkan sempat berkata padanya, "Bill, kamu sudah tidak bekerja di sini lagi. Ini tim saya sekarang. Saya punya hal yang harus dikerjakan".

Pada akhirnya, Shankly pun diminta untuk tidak mendatangi Melwood lagi. Ia diasingkan dari tempat yang ia bangun dengan tangannya sendiri.
Semula Shankly masih sering duduk di bos direksi untuk menyaksikan pertandingan. Namun, pada akhirnya ia bergabung dengan fans lainnya di tribun.

Ia juga mulai mencari aktivitas lainnya: bermain bola dengan anak-anak di halaman, jadi pundit sepak bola, dan pergi ke pertandingan-pertandingan Liverpool, meski harus mengurus tiketnya sendiri. Ia bahkan pergi ke Everton dan membantu kapten mereka untuk melatih tim junior. Ia melakukan apapun untuk tetap bersentuhan dengan sepakbola.

Jika ada satu hal yang disesali baik Liverpool dan Shankly, adalah cara perpisahan keduanya ditangani. Shankly, seorang yang memiliki rasa kebanggan yang tinggi, tak mau datang ke tempat ia tak diinginkan. Sementara para direksi yang selama lima belas tahun bertengkar dengannya, mungkin lega melihat Shankly keluar dari pintu.

Shankly sebenarnya bisa saja dijadikan direksi, namun pada akhirnya ajakan itu tak pernah datang. Bahkan, hampir selama 20 bulan setelah Shankly mundur, tak ada kabar sama sekali dari Liverpool untuknya. Meski sekadar untuk memberikan tiket pertandingan.

"Saya tentu akan senang jika diundang ke pertandingan tandang ke klub lain. Namun saya menunggu, dan menunggu, dan menunggu, sampai akhirnya saya lelah menunggu," tutur Shankly dalam buku biografinya.

Di usia 68 tahun, hanya tujuh tahun setelah ia pensiun, Shankly meninggal. Ia mati dengan menepati ucapannya sendiri, bahwa "Saat saya mati, saya akan jadi orang tersehat yang pernah mati."




Ia yang tidak merokok atau minum, dan rutin berolahraga tiap harinya ini memang tetap sehat hingga beberapa hari menjelang kematiannya. "Shankly was a fit man, but he died of a broken heart," ujar Johnny Giles, salah seorang pemain Leeds United.

Ya, mungkin Shankly lupa caranya hidup tanpa sepakbola.

Baru setelah kepergiannya-lah, Liverpool menyadari apa yang mereka lepaskan. Sebelas bulan setelah kematiannya, gerbang Shankly (Shankly Gates) dengan inkripsi "You’ll Never Walk Alone" dibangun. Pada 1997, patungnya pun tegak berdiri di depan stadion. Dengan tangan terentang, seolah ia bangkit kembali menjaga klubnya, hidupnya, untuk sepanjang masa. Mengutip ucapannya, “I was made for Liverpool and Liverpool was made for me”.

Jika setan memang ada di detail, maka Bill Shankly akhirnya berada di jantung Liverpool: berdiri di depan pintu gerbang "kerajaan" Anfield tak ubahnya malaikat penjaga. Sampai entah. Mungkin selamanya.


(artikel ini dimiliki oleh @vetriciawizach dari @panditfootball)

Shankly dan Khotbah di Atas Bukit

Bill Shankly telah menjadi sebentuk mitologi. Di mana-mana, mitos memang tak selalu akurat, karena mitos memang tak mengejar akurasi. Pokok dari mitologi adalah menggambarkan sesuatu yang kompleks ke dalam bentuk yang sederhana, mudah dimengerti dan diterima, sehingga narasi mitologi itu bisa terus menerus direproduksi dalam berbagai versi.

Atau, seperti yang dengan cemerlang digambarkan DH Lawrence, sastrawan terkemuka Inggris yang masyhur dengan novel "haram" berjudul Lady Chatterley's Lover, mitologi adalah upaya mengisahkan totalitas pengalaman manusia untuk menjelaskan kejiwaan secara lebih dalam, sangat mendalam, sampai menukik ke dalam darah dan jiwa.

Mitologi Shankly bersemayam di dalam darah dan jiwa klub Liverpool. Dan sebagai sebuah narasi, sejarah Liverpool seringkali dipantulkan, digambarkan, atau bahkan kadang diwakili oleh apa yang pernah dilakukan, diucapkan dan dialami oleh Bill Shankly.

Narasi Shankly

Hal tersulit dalam menuliskan Bill Shankly adalah tidak terjebak dalam retorika. Mengabadikan Shankly dalam kata-kata, Anda bisa saja menggunakan retorika tentang kharismanya yang mampu membius ratusan ribu suporter Liverpool. Bisa juga mengutip ucapannya yang menyatakan bahwa sepakbola lebih penting dari hidup itu sendiri. Atau, mengingat retorika tentang ia yang mengagungkan posisi nomor satu. Bahwa "if you’re first, you’re fist, and if you’re second you’re nothing".

Sebagai seorang berkarakter kuat, yang mampu membuat pendengarnya terdiam dan meng-iya-kan semua idenya, Shankly memang biasa diingat dengan kutipan. Sosoknya juga akrab dikenang melalui gimmick. Atau, lewat cungkilan cerita singkat yang telah diulang ribuan kali.

Dan semuanya, sampai batas tertentu, bisa dibenarkan. Fans yang mencium ujung kaki Shankly memang pernah terjadi. Bahkan cerita dan foto kejadian ini kerap diulang dari masa-masa saat membicarakan bagaimana Shankly sangat dicintai Liverpool. Pun dengan ribuan pendukung Liverpool yang mengelukan namanya dalam nada himne Amazing Grace, seperti umat yang memanggil pemimpinnya. Ini bukan pemandangan aneh di era 60-an.

Dan dengan ucapan Shankly yang mudah untuk diingat dan diceritakan ulang, maka reproduksi massal apa-apa yang pernah keluar dari mulutnya juga bukan hal aneh.

Tapi kurang adil rasanya mengingat sosok yang lahir 100 tahun lalu di tanggal 2 September ini jadi sekadar apa yang terlihat di media. Seolah-olah dengan hanya menggunakan kalimat-kalimat indah saja ia bisa membangkitkan klub di divisi dua jadi salah satu klub terbaik Inggris. Seolah-olah ia hidup sebagai dewa dalam mitos yang ceritanya kerap terdistorsi seiring waktu.

Karena cerita tentang Shankly bukan cerita tentang dewa. Tapi tentang manusia, tentang perjuangannya sebagai seorang manusia, tentang dan bagaimana ia menjadikan manusia --atau "the people" dalam bahasa Shankly -- sebagai pusat kehidupannya.
Sepakbola adalah cerita tentang manusia di bumi manusia. Segala dongeng tentang kesenangan dan serba mendewa-dewakan sebenarnya tidak terlalu menarik. Kisah-kisah macam itu, bukan cerita tentang kemanusiaan kita, tapi tentang surga, di mana semuanya berjalan mulus, rapi dan sempurna. Dan epik macam itu jelas tidak terjadi di atas tanah yang kita injak ini.

Apa Semua Ini Cukup?

Saat Shankly pertama kali menginjakkan kakinya ke Anfield di bulan Desember 1959, Liverpool adalah klub divisi bawah yang tak mau ke mana-mana. Pemilik yang tak mau mengambil risiko finansial, dan manajer yang senang dengan kondisi biasa-biasa saja, jadi norma. Direkrutnya Shankly dari Huddersfield pun --kala itu satu divisi di atas Liverpool-- hanya untuk membawa Liverpool promosi, dan "aman duduk di posisi ketiga atau keempat dari bawah". Klub yang puas jadi medioker.

Demikian pula dengan pendukungnya. Ada teriakan dan "geraman" yang datang dari tribun, namun bukan dalam satu kesatuan yang bisa mengintimidasi lawan. Mereka cukup bahagia jika ada satu atau dua hal di atas lapangan yang bisa disoraki.

Shankly yang membalikkan keadaan ini. Ia meminta uang pada para direktur untuk mendapatkan pemain muda terbaik di Britania. Dengan tangannya sendiri, Shankly juga membersihkan lapangan latihan dari batu, sampah, dan rumput liar. Buatnya, hanya fasilitas terbaiklah yang hanya boleh ada di Liverpool. Mulai dari tukang sapu di stadion hingga para pemilik modal, dituntutnya agar memberikan usaha terkeras.

"Jika saya jadi tukang sampah, maka saya akan jadi tukang sampah terbaik di Liverpool. Saya akan buat Liverpool jadi kota terbersih di dunia. Saya akan mengajak semua tukang sampah bekerja sebaik mungkin, dan saya akan pastikan mereka dibayar dengan pantas. Tapi mungkin ada orang yang bertanya, buat apa menghargai tukang sampah atas pekerjaan yang semua orang bisa lakukan? Tapi saya akan bertanya balik, mengapa mereka menganggap diri mereka lebih penting dari tukang sampah? Saya akan bertanya seberapa bangga mereka jika kota mereka jadi kota terbersih di dunia? Dan siapa yang akan membuat mereka bangga? Tukang sampah," ujar Shankly dalam satu wawancara.

"Jika semua orang berpikir demikian, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil dengan kemampuan terbaiknya, maka itulah kejujuran," katanya lagi. Sebagai seorang sosialis, bentuk kejujuran inilah yang ia inginkan dari setiap orang yang bekerja dengannya. Tak terkecuali di Liverpool.

Shankly juga menuntut adanya profesionalisme, kepercayaan diri, disiplin, optimisme dan ambisi dari seluruh orang-orang di sekitarnya. Ia membuat orang percaya bahwa Liverpool adalah klub terbaik di dunia, walau saat itu hanya jadi klub terbaik kedua di kotanya sendiri.

"Saking terbiasanya Liverpool dengan ketidaksuksesan, mereka jadi pesimistik. Seakan takut untuk melakukan apapun. Saya berjuang keras untuk membuat orang percaya bahwa adalah mungkin untuk jadi sukses," ujar Shankly.

Rapat direksi pun jadi medan pertempuran pribadi Shankly dengan para pemilik uang. Shankly akan berteriak "jangan beli bola yang 5 pounds itu, dan beli yang lebih baik seharga 10 pounds." Ia juga bertengkar untuk meyakinkan direksi bahwa Liverpool tidak akan bisa mendapatkan pemain yang baik hanya dengan dana 3000 poundsterling.

Keributan seperti inilah yang terjadi hampir setiap musim. Shankly akan meminta dana untuk membeli pemain bagus, dan direksi akan membantahnya dengan dalih bahwa Liverpool dalam kondisi yang baik-baik saja.

Beradu mulut dengan para direksi ini bukannya tidak menghabiskan energinya. Hampir setiap musim pula Shankly bertanya pada dirinya sendiri, apakah perdebatannya tidak sia-sia? Bertarung melawan musuh di lapangan sudah cukup berat, tapi mengapa masih ada pertengkaran internal untuk meyakinkan orang? Apakah yang ia lakukan untuk Liverpool sudah cukup?



Demi Kota Liverpool, Demi Penduduk Liverpool

Sukses di lapangan datang seiring dengan peningkatan kualitas tim dan kondisi klub. Demikian pula dengan kondisi di teras stadion. Kembalinya kebanggaan pada klub, direspons dengan suara lantang suporter di tribun. Kecintaan pada sosok Shankly cepat berubah jadi semacam pemujaan. Di saat-saat trofi tak kunjung datang, para suporter selalu setia di sampingnya. Mereka menolak untuk meragukan Shankly.

Menurut Brian Reade dalam buku "43 Years With The Same Bird: A Liverpudlian Love Affair", ikatan antara suporter dan pelatih seperti ini belum pernah terlihat sebelumnya. Shankly memulai sesuatu yang unik dalam sepakbola, yaitu pelatih sebagai idola. Tradisi inilah yang dipertahankan hingga saat ini. Sementara hanya pemain-pemain spesial saja jadi banner di tribun, wajah para manager tak pernah absen dipampangkan di setiap pertandingan kandang.

Ini bukan tanpa sebab. Selain karena berhasil memberikan harapan akan kesuksesan, ketulusan Shankly sampai pada para pendukung Liverpool. Sikapnya yang menghargai semua orang, bahkan yang terendah dalam strata sosial sekalipun, membuat Shankly populer. Ia dianggap jadi salah satu dari mereka.

Semenjak Shankly menginjakkan kaki ke dalam Anfield, suporter Liverpool sendiri seakan dijadikannya pusat dunia. Dalam pikirannya, Liverpool Football Club dimiliki oleh para suporter, dan bukan direksi atau para pemegang saham. Bahkan, saat baru direkrut dan pertama kali, melihat kondisi Anfield yang hancur, Shankly sempat berujar pada Ness istrinya, "tempat ini tidak cukup baik untuk kota Liverpool. Para pemain di tim ini tidak cukup baik untuk penduduk kota Liverpool".

Nyaris 15 tahun kemudian, setelah memenangkan Piala FA pada 1974, pikiran ini pun tidak pernah meninggalkan benak Shankly.

Di hadapan 100.000 pendukung Liverpool, Shankly berdiri di atas podium di St. George Hall. Dengan satu tangan di saku, dia berbicara pada lautan merah yang terdiam mendengarkan: "Semenjak saya datang ke Liverpool, ke Anfield, saya telah berulang kali berucap pada pemain saya bahwa mereka seharusnya merasa terhormat bermain untuk kalian. Dan jika mereka sebelumnya tidak percaya pada saya, mereka akan percaya sekarang."

Di atas podium itu, Shankly berbicara tentang kepercayaan manusia Liverpool, the people, terhadap dirinya. Inilah nubuat Shankly yang diucapkannya di ketinggian kota Liverpool. Nubuat itu sampai sekarang masih berlaku dan akan terus berlaku. Liverpool akan tetap percaya kepada Shankly.

Para nabi, kadang, memang berkhotbah di atas bukit. Apa boleh bikin.


(artikel ini dimiliki oleh @vetriciawizach dari @panditfootball)

Minggu, 13 Oktober 2013

The Return of The King


Masih ingat di benak kita, saat King Kenny dipecat di akhir musim 2011-2012.
meski terperosok diperingkat 6, Dalglish berhasil membawa LFC meraih trophy pertama dalam 6 tahun terakhir (saat itu).
pemecatan King Kenny sangat mengecewakan dirinya dan sebagian fans, tetapi penunjukan Rodgers sebagai bos baru klub sepakbola terbesar di Merseyside itu menghasilkan banyak hal-hal positif.
Kini, satu tahun lebih setelah pemecatan King Kenny, sang Raja telah kembali ke rumah nya tercinta, Liverpool Football Club.

sedikit penggalan wawancara kembalinya sang Raja.

Kenny, kami rasa anda telah pulang ke rumah - bagaimana perasaan anda bisa kembali ke sini?

Saya sangat bangga dan merasa terhormat saat ditawari untuk kembali. John Henry dan anggota dewan mengundang saya jadi seorang direktur non-eksekutif. Saya senang bisa kembali. Saya merasa sedikit malu karena sudah punya satu dari kursi terbaik di rumah untuk menyaksikan laga.

Mari ceritakan kepada kami bagaimana prosesnya... Apa reaksi pertama anda saat mereka menawarkan untuk kembali?

Prosesnya amat sederhana. Orang paling penting dalam kembalinya saya ke sini adalah Brendan. Sang manajer lebih penting dari saya dan serupa dengan posisinya. Jika anda bisa kembali ke klub untuk membantu ketajaman atau performa tim, anda tentunya datang tak untuk menghalangi.

Anda menyebut Brendan; apakah anda sudah mendiskusikan peran anda padanya dan bagaimana hubungan kerja dengan manajer?

Kami akan sangat dekat, tetapi Brendan punya kuasa 100 persen untuk tim. Saya di sini untuk membantu setiap orang; jika dia ingin berbicara, saya akan bersedia di sini dan hal itu membuat saya senang.

Di dalam tim, anda tiba saat ada banyak faktor positif di sekitar klub. Bagaimana pendapat anda terkait penampilan pemain di awal musim?

Mereka menjalani awalan dengan sangat bagus, tiga laga tanpa kebobolan dan kalah atas Southampton menyisakan getir, tetapi mereka punya kesempatan untuk kembali tampil baik. Mereka bekerja amat bagus, tetapi semua butuh proses - tim terlihat amat menjanjikan saat ini.

(source: indonesia.liverpoolfc.com)

Rabu, 09 Oktober 2013

Wawancara dengan Zaf Iqbal

Bagaimana perbedaan pengaturan medis di Melwood dan Tottenham?

Saya belajar banyak dari pengalaman bersama Tottenham Hotspur. Saya terus belajar untuk coba menciptakan pengaturan medis terbaik bagi para pemain.

Apa reaksi Anda terhadap spanduk "Zaf The King" di Thailand?

Saya menerima banyak kelakar dari para pemain dan fans LFC. Glen Johnson adalah yang terburuk. Dia mengancam untuk menjadikan duplikasi poster saya menjadi tirai lemarinya.

Bagaimana perbedaan kultur rezim Brendan Rodgers dan manajer lainnya?

Saya menikmati bekerja dengan semua manajer sebelumnya. Tetapi, Brendan mengagumkan. Dia sangat sportif, antusias, dan berhasrat agar segalanya berjalan benar.

Apa aspek yang jadi pertimbangan utama Anda dalam tes medis terhadap pemain baru?

Saya coba menemukan potensi masalah yang mungkin muncul pada masa depan sehingga klub benar-benar mengambil putusan tepat dengan berinvestasi kepada pemain tersebut.

Apakah Anda puas dengan start tim musim ini?

Tidak. Saya ingin kami memenangkan setiap pertandingan.

Kita melihat kebugaran Steven Gerrard meningkat. Berapa banyak kredit yang tertuju untuk Anda?

Segalanya bergantung pada Stevie G. Dia mendengarkan saran yang diberikan tim medis terkait tindak pencegahan cedera. Dia bekerja keras dan merupakan panutan untuk profesional.

Kapan Glen Johnson kembali ke skuat?

Dia bekerja keras dan telah diberitakan melalui situs LFC, dia akan kembali segera setelah jeda internasional.

Bagaimana Anda bisa memutuskan menjadi dokter tim utama di Melwood? Apakah Anda merupakan fans (Liverpool) sebelumnya?

Kesempatan untuk bekerja bersama tim medis baru dengan Dr. Peter Brukner di LFC datang pada 2010. Saya tak bisa menolaknya. Saya selalu mendukung LFC.

Siapa pesepak bola dengan kebugaran terbaik di Inggris?

Gareth Bale. Saat saya masih bersama Tottenham Hotspur, dia sungguh janggal. Terus berlari tampak tak sulit untuknya.

Siapa pemain yang paling dekat dengan Anda?

Saya menjalin hubungan baik dengan sebagian besar pemain terutama Gerrard, Glen Johnson, dan Martin skrtel. Dia sering membantu proyek komunitas yang saya jalankan.

Bagaimana perasaan Anda saat memutuskan pindah ke Liverpool pada 2010?

Pilihan sulit. Sebab, muncul berbagai rumor LFC akan berganti kepemilikan. Tetapi, saya tidak menyesal.

Apakah Anda tertarik karier manajerial atau pelatihan? Apa ada rencana bekerja untuk sepak bola Pakistan?

Saya tak tertarik menjadi pelatih atau manajer. Dengan senang hati bila saya mampu membantu sepak bola Pakistan dengan ilmu medis yang dimiliki.

Siapa pemain favorit Anda?

Saya tak memiliki favorit. Tetapi, saya senang menyaksikan Luka Modric, Bale, Dimitar Berbatov, Gerrard, Luis Suarez, Lucas Leiva, Johnson dan Daniel Sturridge pada sesi latihan.

Siapa pemain paling santai di ruang ganti?

Glen Jonson tak seperti Kolo Toure, yang tampak dingin. Jika ada waktu, dia kerap tertidur.

Bagaimana pengalaman Anda menjalani Ramadan dengan berkeliling dunia (tur musim panas Liverpool)?

Fantastis. Anda bisa membuka wawasan tentang berpuasa dengan Muslim di negara lain. ada sebuah keuntungan juga karena masa puasa di Australia, Thailand, dan Indonesia lebih singkat ketimbang di Inggris.

(source: indonesia.liverpoolfc.com)